Aku meneguk sisa es teh tawar yang masih tersisa di gelasku. Ketika  aku masih menikmatinya ekor mataku menangkap sosok anak laki-laki yang  memperhatikanku. Matanya menatapku. Sebuah tatapan yang menusuk ke dalam  hatiku. Tatapan yang penuh iba. Aku meletakkan gelas yang hanya  menyisakan es batu yang masih membeku.
“Bu, anak kecil yang duduk di pinggir jalan itu siapa ya?” tanyaku  penasaran kepada pemilik warung sambil memandang anak laki-laki  tersebut.
“Ow… Duh, kasihan tuh anak, bang!”
“Kasihan kenapa, bu?”
“Sudah seminggu bapanya meninggal gara-gara sakit. Ibunya sih  meninggal pas melahirkan dia. Dia ngga punya keluarga lagi. Sekarang sih  dia tidur di mana saja karena di usir dari kontrakan.”
“Begitu ya, bu!”
Selesai membayar es teh tawar yang aku pesan. Aku menghampiri anak  laki-laki yang hanya mengenakan pakaian kumal tanpa alas kaki. Entah  sudah berapa lama dia tidak mengganti pakaiannya.
Semakin aku mendekatinya semakin jelas kelihatan kalau tubuhnya tidak  terurus. Dia terus menatapku sampai aku duduk di sampingnya.
“Nama kamu siapa dek?” tanyaku dengan nada bersahabat sambil mengukir sebuah senyuman.
“Aku lapar, kak!” ucapnya sambil memegang perutnya.
Aku mencoba mengingat uang yang masih tersisa di saku dan dompetku. Hanya ada selembar sepuluh ribuan dan dua koin lima ratus.
“Nanti kakak belikan kamu makanan. Tapi nama kamu siapa?” Sekali lagi aku menanyakan namanya.
“Benar kak? Serius? Kakak ngga bohongkan?”
“Iya. Ngapain bohong? Tapi nama kamu siapa?”
Aku melihat senyuman manisnya yang memancarkan barisan giginya yang  tersusun rapi tapi berwarna kuning karena tidak pernah disikat.
“Namaku Samuel Lie. Dipanggilnya Samuel. Kalau kakak?”
“Dewantara, panggil saja kak Tara!”
Dia mengulurkan tangannya lalu kusambut. Sebuah jabatan salam  perkenalan yang hangat. Terasa kalau tangannya penuh dengan debu ketika  tanganku bersentuhan dengan tangan munggilnya. Kukunya yang panjang  menyembunyikan daki berwarna hitam di setiap kuku jarinya.
“Yuk, kita makan.”
“Di mana kak?”
“Tuh ada warteg!” ucapku sambil menunjuk sebuah warteg.
Dengan langkah semangat Samuel memegang tanganku dan menuntunku ke warteg tersebut. Wajah murungnya berubah menjadi ceria.
Aku hanya memandangnya dengan mata yang hampir copot. Lahap sekali  anak ini makan. Kurang dari lima menit, makanan yang aku pesan sudah  tidak tersisa lagi. Sampai menjilat jarinya segala.
“Terima kasih ya, kak!” ucapnya dengan malu-malu.
“Sama-sama,” balasku terharu meski aku tahu jatah makan malamku sudah tidak ada lagi.
*****
Aku manatap Samuel yang tidur terlelap yang hanya beralaskan koran  dan tumpukan baju di kosku yang hanya berukuran 2×1,5 meter. Masih  terngiang pembicaraan antara aku dengan Samuel sebelum dia terlelap.
“Aku panggil kakak dengan sebutan Ko Dewa ya?”
Aku menatapnya dengan keheranan di antara terang yang dipancarkan  lilin kecil. Anehkan? Kos yang aku tinggali hanya seratus ribu sebulan.  Tanpa listrik dan tanpa kamar mandi. Jadi kalau mau mandi harus ke WC  umum. Itu pun harus bayar. Suara kereta api yang lewat persis di depan  kosku sudah menjadi musik tersendiri bagiku. Kata orang ada harga, ada  mutu. Seperti itulah gambaran kos di pinggiran rel kereta api.
“Dulu aku punya koko.”
“Trus koko kamu di mana sekarang?”
Hening. Sunyi. Bisu.
“Koko… Koko meninggal karena sakit sama seperti papa. Namanya Ko Daniel.”
Kembali kesunyian mencekam.
“Ngga apa-apakan kalau aku manggil kakak dengan panggilan Ko Dewa?”
Aku berusaha untuk tersenyum, “panggil saja Ko Tara, ya?”
“Oklah kalau begitu.”
Aku tertawa dengan tingkah lakunya yang masih polos.
Karena lelah Samuel langsung tidur terlelap. Sementara aku berusaha  menutup mataku diantara suara perutku yang berbunyi karena kelaparan.
*****

“Koko pengen punya toko sendiri,” celotehku ketika mengajaknya ke  tempatku bekerja. “Ngga perlu besar, yang penting milik sendiri.”
“Kenapa ngga jadi koki saja?”
“Koki?”
“Iya. Bisa makan sepuasnya. Kita makan ya ko?”
“Kamu lapar?”
“Lapar setengah mati.”
“Tapi uang koko tinggal seribu rupiah. Cuma bisa beli gorengan.”
Samuel hanya menatapku.
“Kamu disini ya, koko beliin kamu gorengan dulu.”
“Iya ko.”
Aku berlari untuk membeli dua potong pisang goreng. Begitu kembali,  mata Samuel berbinar-binar ketika menerima dua potong pisang goreng.
“Ini untuk aku dan ini untuk koko,” ucapnya sambil menyerahkan sepotong pisang goreng.
“Untuk kamu saja ya!”
“Ngga mau! Koko kan belum makan apa-apa dari semalam?”
Dengan berat hati aku memakannya juga.
Setelah itu aku langsung melakukan tugasku ketika tiba di toko.  Membuka toko, lalu membersihkannya, melayani pembeli dan kemudian  menutupnya. Gajinya sih cukup untuk bayar kos, makan, kebutuhan  sehari-hari dan biaya transportasi. Tapi beruntung Ko Willy, si empunya  toko berbaik hati mengizinkan aku memakai komputernya untuk jualan  online. Aku menjual tas yang ada di toko Ko Willy di blogku yang kuberi
 kamarsolusi.com.  Keuntungannya memang sedikit. Tapi aku percaya, setia dalam hal yang  kecil maka Tuhan akan mempercayakan hal yang lebih besar lagi.
“Nanti kalau ada yang beli tas sama koko, nanti koko traktir kamu di KFC.”
“Wow! Samuel doain semoga laku. AMIN”
Aku hanya tersenyum. Apa lagi melihat tubuhnya sudah bersih. Meski baju yang dikenakannya kebesaran.
Aku belum bisa membelikan Samuel baju sehinga mau ngga mau dia harus memakai pakaianku.
*****
“Kamu sikat gigi pakai garam ya?”
Samuel menatapku dengan kebingungan.
“Odolnya habis. Koko belum bisa beli.”
“Ow.”
“Begini caranya…” ucapku lalu mengambil garam dengan telunjuk tanganku dan menggosokkannya ke gigiku.
“Asin ko!”
Aku tersenyum meski hatiku perih.
“Yah iyalah masa manis.”
*****
 
“Badanmu panas,” keluhku bingung ketika tanpa sengaja menyentuh tubuhnya. “Kamu sakit ya?”
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut munggil Samuel yang merah. Dahinya berkerut dan bibirnya mendesah menahan sakit.
Sementara di luar kos, gerimis mulai turun.
Tubuh Samuel kedinginan. Tidak ada jaket atau selimut. Aku berusaha  menghangatkan tubuhnya dengan menempelkan beberapa baju ke seluruh  tubuhnya.
“Kita ke dokter ya?” usulku, meski aku sendiri tidak yakin mendapat  pertolongan tanpa uang yang cukup. Orang miskin dilarang sakit! Kalau  berobat harus pinjam sana-sini buat biaya berobat. Setelah sembuh kerja  keras lagi buat bayar hutang.
Aku semakin bingung ketika Samuel tidak menjawab. Dia hanya mengerang dengan mata tertutup rapat.
Aku menggendong tubuh Samuel dan membawanya ke rumah sakit terdekat.  Entah kenapa aku takut kehilangan Samuel. Meski baru dua minggu  mengenalnya. Rasanya seperti terjalin ikatan batin yang kuat diantara  kami.
Sehari tanpa ocehan Samuel rasanya ada yang aneh.  Pertanyaan-pertanyaan sering terlontar dari mulutnya hingga kadang aku  kewalahan menjawabnya.
“Woi, mau ke mana loe?” sergah satpam rumah sakit ketika melihatku. “Enak saja main masuk!”
“Adik saya sakit, pak?”
Satpam tersebut memandangku dan Samuel berkali-kali. Mungkin dia  bingung, aku yang pribumi memiliki adik yang keturunan Tionghoa.
“Bawa saja ke rumah sakit lain. Di sini bayarnya mahal. Ngga terima pasien kayak begini!”
Ya Tuhan? Apa rumah sakit ini hanya menerima pasien yang menaiki  mobil mewah yang bisa di rawat di sini? Sementara orang miskin sepertiku  tidak diterima?
Ketika satpam tersebut mengarahkan mobil mewah untuk mendapatkan  parkir aku langsung menerobos masuk. Aku tetap nekat untuk masuk. Apa  pun akan aku lakukan untuk Samuel. Satpam tersebut hanya pasrah dengan  sikapku. Aku tidak menghiraukan tatapan orang yang melihatku basah kuyup  tanpa alas kaki. Sandal nyang kupakai tadi putus. Mungkin sudah  waktunya untuk diganti.
Aku tidak menghiraukan tatapan orang yang memandangku. Dinginnya AC menusuk hingga tulang sum-sumku.
*****

Empat hari kemudian.
“Hemofilia?” tanyaku kaget.
“Penyakit gangguan pembekuan darah dan diturunkan oleh melalui  kromosn X,” ucap dokter muda yang cantik perawakannya memberiku  penjelasan.
Aku menggagumi kecantikannya.
“Tapi selama ini tidak ada keanehan yang saya temui, seperti  pendarahan yang terus menerus atau terjadi benturan pada tubuhnya yang  mengakibatkan kebiru-biruan. Kalau boleh tahu, Samuel mengidap hemofilia  A atau Hemofilia B, dok?”
“Begitu ya? Hemofilia B.”
Aku terdiam.
“Tidak hanya itu, hasil pemeriksaan menyatakan kalau dia juga positif HIV.”
Aku berdiri seperti patung. Samuel yang masih berumur enam tahun  mengidap HIV? Ayah atau ibunyakah yang menularkan? Atau karena dia  pernah menjalani transfusi darah dan ternyata Human Immunodeficiency  Virus lolos dalam transfusi darah yang dijalanninya.
Kini aku tahu, kenapa tidak ada satu pun keluarganya yang mau  menampungnya yang sebatang kara. Mungkin ayahnya meninggal karena HIV  juga. Entahlah.
Aku menatap wajah pucat Samuel yang terbaring lemah dengan infus yang  terpasang ditubuhnya. Selama Samuel di rawat tidak ada satu pun kata  keluh kesah yang keluar dari mulutnya.
Masih jelas tergambar di memoriku pembicaraan kami berdua ketika  mengajaknya makan di KFC di salah satu mal di bilangan Jakarta Barat.
“Samuel pengen kado natal!” Ungkap Samuel tiba-tiba begitu melihat nuansa natal yang menghiasi setiap penjuru mal.
“Mau kado apa?”
“Cuma pengen boneka Tazmania.”
“Nanti koko belikan kalau koko sudah punya duit. Beberapa harri ini  belum ada tas yang laku. Nanti koko belikan boneka Tazmania yang gede.”
“Yang kecil juga ngga apa-apa kok.”
“Tapi jangan lupa berdoa ya.”
“So, pasti!”
Malamnya sebelum beranjak tidur, kembali dia mengutarakan keinginannya.
“Koko pasti belikan buat kamu. Berharap sebelum natal banyak tas yang laku.”
“Amin!” teriaknya memecah kesunyian malam.
Hatiku miris, seharian aku dan Samuel hanya minum air kran. Tidak ada duit yang tersisa.
“Maafkan koko, Samuel,” bisikku dalam hati sambil mengusap kepalanya.
Menit berikutnya.
Dia mengajakku berdoa. Biasanya aku yang mengajaknya.
“Tuhan… Berkati Ko Tara ya. Berkati pekerjaannya dan usaha on…”
“Online.” timpalku yang mengetahuinya kesulitan menyebut kata tersebut.
“Usaha onlinenya. Berkati juga bloknya.”
Aku tersenyum ketika dia menyebut kata blog dengak pemakaian huruf K dibelakangnya.
“Nama blognya apa ko?”
“
Kamarsolusi dot com,” ucapku dengan perlahan-lahan.”
“Berkati 
kamarsolusi dot kom ya Tuhan. Biar banyak orang yang diberkati.”
Aku terharu. Aku meneteskan air mataku.
*****
“Ko, aku mau pulang saja!”
“Kenapa sayang? Di sinikan enak? Ngga kayak di kos koko.”
“Tapi aku kasihan koko harus berhutang untuk bayar semuanya.”
Diam. Sesak.
“Kamu jangan pikirkan itu ya, sayang. Tuhan pasti cukupkan semuanya.”
Tidak ada pilihan selain meminjam uang dengan Ko Willy dengan jaminan  gajiku di potong setengah dari seharusnya aku terima setiap bulan.
Sebatang kara seperti ini tidak bisa berharap pertolongan kepada  keluarga. Ah, betapa indahnya kalau masih memiliki keluarga. Teman? Ini  Jakarta. Uang ngga jatuh dari pohon kayak daun kering. Siapa yang mau  memberikan pinjaman kepadaku tanpa jaminan apa-apa yang bisa disita  kalau tidak mampu melunasi hutang yang ada? Memberikan pinjaman ke  keluarga sendiri saja masih pakai hitung-hitungan. Kalau mau nyumbang  harus di ekspos. Berharap kepada manusia memang sering mengecewakan.
“Kamu harus di rawat di sini supaya cepat sembuh.”
“Ko…. Maafkan aku.”
“Kenapa harus minta maaf?”
“Aku sudah merepotkan koko.”
Aku menggenggam tangannya. “Kamu tidak merepotkan kok. Percayalah! Koko malah senang bisa berkorban buat kamu.”
******
 
 

Segala macam usaha telah di coba oleh tim dokter yang menangani  Samuel. Sudah dua minggu terakhir ini berbagai obat pun silih berganti  dimasukkan ke dalam tubuhnya.
Setiap hari berjam-jam aku menemaninya setelah pulang dari jaga toko.  Mengobrol, bergurau atau kadang-kadang berdongeng untuknya.
“Ko, apa artinya meninggal dunia?”
Pertanyaan yang menghentakkan diriku yang lelah dan lapar. HIV sudah  memorak-porandakan seluruh sistem pertahanan tubuh Samuel. Infeksi yang  tidak terlalu berat pun dapat menimbulkan penyakit yang fatal.
“Artinya, kamu akan suatu tempat yang jauh. Tempat di mana kamu berasal.”
“Perginya sendirian?” tanyanya lemah.
Mataku berkaca-kaca. Namun aku mencoba untuk menahan agar air mata itu tidak jatuh.
“Sendirian. Tapi kamu jangan takut.”
“Kalau aku meninggal dunia, siapa yang akan menemani koko?”
Akhirnya air mataku juga jatuh. Diantara penderitaannya dia masih memikirkanku.
“Aku tahu, koko sering ngga makan biar aku kenyang. Koko sering jalan  kaki pulang pergi ke toko biar bisa belikan aku sesuatu setiap hari.  Nanti di sana, siapa yang motongin kuku Samuel?” ucapnya sambil  meneteskan air matanya.
Aku memeluknya.
“Kamu ngga usah mikirin koko ya, sayang!  Tuhan pasti menjaga koko.”
“Nanti kalau aku sudah besar dan punya uang yang banyak. Aku mau  belikan koko sebuah toko. Biar koko ngga usah kerja lagi. Trus belikan  koko rumah dan mobil, biar kalau hujan bisa tetap tidur enak dan tidak  perlu lagi jalan kaki.”
Mulutku tertutup rapat. Bungkam. Tak ada kata yang bisa melewati  kerongkonganku. Di tengah rasa sakitnya, dia masih menyimpan sebuah  impian. Bukan keluh kesah karena sakit yang di deranya.
******

Aku membawa sebuah boneka Tazmania kecil untuk Samuel. Samuel yang terbaring lemah memaksakan senyumannya.
“Ko…”
“Kenapa sayang?”
“Besok aku tidak bisa ikut koko natalan di gereja.”
“Ngga apa-apa.”
“Kamu suka ngga bonekanya?”
“Terima… kasih… ya, ko! Bonekanya bagus banget.”
“Maafkan koko ya. Koko ngga bisa belikan kamu boneka yang gede.”
“Ko, aku mau… kasih koko… kado.”
Aku tercengang!
“Aku cuma… bisa kasih lagu buat koko…”
Aku mendekatkan kupingku di wajah Samuel. Suaranya semakin pelan.
“Ku yakin saat Kau berfirman
Ku menang saat Kau bertindak
Hidupku hanya ditentukan oleh perkataanMu
Ku aman karna Kau menjaga
Ku kuat karna Kau menopang
Hidupku hanya ditentukan oleh kuasaMu
Bagi Tuhan tak ada yang mustahil
Bagi Tuhan tak ada yang tak mungkin
MujizatNya disediakan bagiku
Ku diangkat dan dipulihkanNya”
Air mataku terus jatuh ketika dengan susah payah dia menyelesaikan  lagu tersebut. Meski sudah tidak ada lagi harapan Samuel tetap percaya  mujizat itu ada.
“Selamat natal ya ko,” ucapnya dengan sangat pelan.
“Selamat natal juga sayang.”
“Ko…”
“Iya, sayang!”
“Koko bisa nyanyikan aku lagi malam kudus? Tapi pake bahasa inggris.”
Tanpa berpikir panjang aku memenuhi permintaan Samuel.
Silent night, holy night
All is calm and all is bright
Round yon virgin mother and child
Holy infant so tender and mild
Sleep in heavenly peace
Sleep in heavenly peace
Silent night, holy night
Shepherds quake at the sight
Glories stream from Heaven afar
Heavenly hosts sing halleluia
Christ the savior is born
Christ our savior is born
Silent night, holy night
Son of God
Love’s pure light
Radiant beams from thy holy face
With the dawn of redeeming grace
Jesus Lord at thy birth
Jesus Lord at thy birth
Halleluia!
Halleluia!
Halleluia!
Christ the savior is born
Tangan kanan Samuel mendekap boneka Tazmanianya sementara tangan kirinya menggengam tanganku.
Genggamannya makin lama makin lembut hingga tak ada lagi nadinya yang berdetak.
“Surga menantimu, pahlawan kecilku,” bisikku dikupingnya yang dingin.
 
 
*****
 
 
 
Cerpen ini saya dedikasikan untuk ODHA (orang dengan HIV/AIDS),  percayalah kalian adalah makluk tuhan yang paling bahagia dan berharga  di mata Tuhan dengan keadaan apapun.
“Jauhi virusnya bukan orangnya.”