Thursday, December 9, 2010

Penderitaan Pendidikan di Indonesia

Keterbelakangan Pendidikan Rakyat


Sebagai sebuah realitas yang tidak dapat ditawar-tawar Pendidikan meiliki peran yang teramat urgen bagi perkembangan pribadi manusia. Pendidikan berakar dari kata didik yang berarti mengarahkan ataupun membimbing. segala upaya yang diarahkan untuk mendidik ataupun membimbing seseorang merupakan bahagian dari upaya pendidikan. Senafas dengan itu Pendidikan tidak lepas dari beberapa komponen yang satu sama lain saling bertautan, jika satu dari mereka tidak ada maka proses pendidikan tidak akan mungkin terjadi. Komponen tersebut adalah :

Pendidik dan peserta didik, komponen tersebut merupakan bagian yang paling fundamen dari sebuah proses pendidikan. Seorang pendidik bertugas mengarahkan dan mentransformasi pengetahuan yang dimilikinya kepada peserta didiknya, guna mengarahkannya mencapai sesuatu yang bermakna. Dalam kaitan itu seorang pendidik dituntut untuk memiliki kualifikasi dan kompetensi akademis yang memadai, dalam Permendiknas Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam pasal 28 disebutkan bahwa, Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki tujuan pendidikan. Lebih lanjut dalam pasal 30 dijelaskan, seorang pendidik harus memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran, kompetensi tersebut meliputi, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi propfesional dan kompetensi sosial (UU NO 20 tahun 2003).

Selaras dengan itu seorang Pendidik juga memiliki tanggungjawab yang cukup besar untuk mengetahui sejauh mana anak didiknya bersikap dan ber-afiliasi dengan teman - teman nya yang lain, dalam hal ini aspek Afektif menjadi harga mati dari sebuah proses pendidikan. walapun tetap harus memperhatikan ranah Kognitif dan Psikomotoriknya. Walaupun dalam prakteknya sering terjaid antithesis dalam wilayah Afektif dan Kognitif, yang terjadi adalah Pendidik seolah - olah menjadi orang yang paling berkuasa dikelasnya, komunikasi timbal balik tidak berjalan sebagaimana mestinya, penekanan aspek verbal menjadi tuntutan pendidik. Sehingga pencapaian Asessment hanya dilihat dari aspek skor dan nilai dari peserta didik.

Hal tersebut secara tidak langsung akan mematikan kreatifitas Peserta didik untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Perlu untuk di garis bawahi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi alamiah yang berbeda-beda yang jika dipaksakan terhadap sesuatu hal akan menganggu kejiwaannya. Artinya adalah memberikan mereka kebebasan untuk berkreatifitas dan menunjukan kemampuan terbaiknya merupakan uregensi seorang Pendidik.

Sejatinya, seorang pendidik mengarahkan peserta didik untuk lebih mengeksplorasi aspek afektifnya. Pembinaan mental dan sikap merupakan peran utama seoang pendidik yang harus benar-benar berfungsi dengan baik. Sehingga peserta didik akan tumbuh menjadi manusia yang sadar nilai dan mampu menempatkan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang Agung yang tidak berbuat sesuka hati dan menempatkan nilai dan moral diatas segalanya.

Sarana dan Prasana Pendidikan, tidak berbeda dengan komponen yang telah disebutkan di atas komponen ini juga teramat urgen dalam upaya mengembangkan proses pendidikan. Hal tersebut menyangkut dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik (UU No.20 tahun 2003).

Tanpa adanya sarana dan prasarana yang baik maka upaya pengembangan pendidikan tidak akan terjadi sebagaimana mestinya. Hal ini dapat terlihat ketika pasca Gempa Bumi dan Tsunami di Aceh dua tahun yang lalu. berapa banyak Sekolah - sekolah yang hancur dan berapa banyak sarana dan prasarana pendidikan yang hilang dan rusak parah, akibatnya para siswa tidak dapat melaksanakan proses pendidikan sebagaiamana mestinya kalaupun harus dipaksakan mereka hanya bisa bersekolah di tenda - tenda darurat ataupun di gedung-gedung sekolah yang sangat tidak layak. Hasilnya adalah ketika terjadi UAN pada tahun 2006 banyak dari anak - anak Aceh yang tidak lulus pada Ujian Akhir Nasional. Tidak hanya itu Gempa Bumi dan Tsunami Aceh juga berimbas kepada anak - anak Aceh yang kian terganggu mental dan kejiwaannya, diakibatkan stress maupun trauma yang berkepanjangan padahal potensi intelektual, emosionl dan kejiwaan merupakan potensi sarana dan prasarana yang sangat esensi bagi proses proses pendidikan.

komponen tersebut diatas merupakan hal yang sangat asasi bagi kemajuan pendidikan bangsa ini. Ketiganya harus menjadi perhatian Pemerintah jika tetap ingin mengembangkan dunia pendidikan di negara ini. Walaupun harus diakui secar jujur bahwa kian hari dunia pendidikan kita nyaris semakin tertinggal. Hal ini dibuktikan dengan jelas bagaimana mutu SDM Indonesia yang jauh dari harapan seperti dilaporkan oleh studi UNDP tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human Development Indeks (HDI) Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174 negara atau data tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari 162 negara.

Hal tersebut semakin diperparah dengan tingkat kemiskinan yang semakin mengelembung, kehidupan masyarakat kumuh yang berbaris semeraut dipinggiran sungai malah semakin menngeliat, di beberapa daerah malah terkuak anak-anak balita yang menderita busung lapar, kelaparan terjadi dibeberapa daerah, bahkan beberapap penyakit menular juga bertubi-tubi menyerang Bangsa ini. Masyarakat semakin teperosok jauh kebelakang untuk kemudian meratap sedih terhadap sanak kelurga mereka yang tak berdaya. Alih-alih untuk meyekolahkan anak-anak mereka kejenjang pendidikan yang lebih tinggi untuk menghidupi keluarga saja mereka tidak sanggup lagi.

Dan ini lah yang terjadi hari ini, betapa tidak Pendidikan seyogianya menjadi milik seluruh warga masyarakat tanpa terkecuali, malah seperti perjalanan panjang yang tanpa garis finish.

Berikut ini contoh dari salah satu keterpurukan pendidikan diIndonesia :
Mengambil latar di bumi Cenderawasih, film Denias telah menjadi fakta bahwa pembangunan dan pendidikan di Indonesia masih belum merata. Terlihat pembangunan insfrastruktur pendidikan di Papua masih sedikit dan terpusatkan di pusat kota. Meskipun dalam film tersebut digambarkan bahwa di pedalaman Papua juga terjadi proses belajar mengajar, akan tetapi pendidikan yang diterima bukanlah pendidikan yang layak sebagaimana menurut konstitusi. Sarana dan prasarana seperti buku ajar, gedung/bangunan sekolah, tenaga pendidik masih bersifat seadanya. Kegemilangan pembangunan yang dibanggakan oleh Orde Baru sampai masa pemerintahan sekarang belum dirasakan oleh banyak rakyat Indonesia di daerah, terutama di wilayah luar Jawa seperti Papua. Ini terjadi karena belum ada keseriusan pemerintah dalam merubah orientasi pembangunan yang sentralistik dan Jawasentris.
Pasal 31 UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Janji pemerintah ini dikukuhkan lagi dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan DPR 11 Juni 2003, ditandatangani Presiden 8 Juli 2003. Jika kita mengacu pada pasal tersebut, seharusnya kasus sulitnya kesempatan mengakses pendidikan dalam film Denias tidak perlu terjadi, dan jika terjadi berarti pemerintah telah mengkhianati konstitusi negara dan Denias berhak menuntut pemerintah.
Ketika sarana dan prasarana di tempat Denias tidak ada, ditandai dengan tidak adanya tempat bersekolah dan gurunya yang kembali ke Jawa, membuat Denias pergi ke kota karena keinginannya untuk bersekolah sangat kuat. Akan tetapi sesampainya di kota, ia kesulitan untuk sekolah meskipun pembiayaan pendidikan pendidikan dibantu oleh ibu guru yang ditemui di sekolah. Dalam perjanjian adat Papua, yang bisa bersekolah adalah anak kepala suku selain orang-orang yang mempunyai uang. Di sini kita lihat masalah status sosial politik seseorang menjadi penentu dalam kesempatan memperoleh akses pendidikan. Jadi, selain hambatan dari pemerintah, kondisi sosial politik di Papua menambah ketidaksamaan kesempatan.
Pendidikan erat kaitannya juga dengan masalah pembangunan dan kesejahteraan seseorang. Di era modern dan di tengah arus globalisasi, pendidikan menjadi komoditas bagi sekelompok orang. Tercipta standarisasi pendidikan sebagai suatu persyaratan. Sebagai contoh dalam bekerja, saat ini banyak perusahaan yang menerapkan persyaratan pendidikan minimal dan mengutamakan tenaga terdidik terlatih hasil proses pendidikan. Tanpa itu seseorang sulit mendapatkan kesempatan untuk bekerja. Sebagaimana menurut Karl Marx bahwa bekerja merupakan suatu eksistensi seseorang di masyarakat. Kaitannya dengan proses pembangunan adalah, ketika karena pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan ia tidak bisa bekerja maka usaha pemenuhan kebutuhan pun terhambat. Dari sinilah kemudian memunculkan kemiskinan struktural. Ketika seseorang tidak sejahtera dan terbatas dalam mengeksplorasi kemampuan yang dimilikinya maka pembangunan nasional akan sulit terwujud.
Film Denias telah menggambarkan ketimpangan pendidikan di Indonesia. Kondisi ketimpangan antara pusat dengan daerah maupun ketimpangan sosial di tingkatan daerah dalam kesempatan mengakses pendidikan. “PENDIDIKAN”, sebuah kata yang mempunyai arti sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Mengapa demikian? Melalui pendidikan seseorang memperoleh transformasi ilmu pengetahuan dalam upaya mengeksplorasi dunia. Tanpa pendidikan manusia hanya akan menjadi orang yang “terasing”.
Sumber ; http://re-searchengines.com/asrulnasution5-07.html
http://indrasuryana.wordpress.com/2007/10/03/keterpurukan-pendidikan-di-indonesia/